Eksistensi Gambang Semarang di kota kelahirannya
bersuka ria gelak tertawa semua orang
karena hati tertarik gerak- gerik si tukang kendang
empat penari membikin hati menjadi senang
aduh malam gembira
gambang semarang
Secuplik syair diatas adalah bagian dari lagu “Ampat Penari” atau biasa disebut lagu Gambang Semarang. Gambang Semarang adalah salah satu dari sekian banyak kesenian rakyat yang berasal dari kota Semarang. Akan tetapi beberapa periode terakhir ini gaungnya semakin tenggelam tergerus perubahan jaman. Selayaknya sebagai masyarakat asli kota Lunpia ini kita harus berupaya untuk melestarikan kearifan lokal yang masih tersisa dari jaman terlampau.
Ada dua pendapat tentang asal muasal Gambang Semarang. Pendapat pertama, yang dianggap sebagai yang paling benar, adalah Gambang Semarang berasal dari kesenian Gambang Kromong dari Jakarta. Dahulu, karena penduduk kota Semarang merupakan campuran antara orang Jawa pribumi, orang Tionghoa dan orang Arab maka sulit sekali menciptakan sebuah kesenian yang khas dari Semarang, tentu saja karena tiap etnis membawa peradabannya masing-masing.
Oleh karena itu, seorang Tionghoa bernama Lie Ho Sun diawal 1930 memiliki inisatif untuk membawa Gambang Kromong (Jakarta) untuk dikembangkan di Semarang. Inisiatif itu kemudian menjadi nyata atas persetujuan walikota Semarng saat itu, hingga sekembalinya dari Jakarta, Lie Ho Sun membawa seperangkat gamelan Gambang Kromong sekaligus sekelompok senimannya. Singkat cerita, kemudian terbentuklah komunitas seni Gambang Kromong di Semarang. Masyarakat Semarangpun juga sangat antusias terhadap kesenian ini karena didukung oleh orang-orang pribumi dan Tionghoa.
Akhir tahun 1930, seorang Tionghoa bernama Oe Yok Siang menciptakan sebuah lagu berjudul Ampat Penari (yang sampai sekarang masih menjadi trademark Stasiun Tawang saat keberangkatan kereta). Lagu tersebut secara filosofis menceritakan tentang Gambang Semarang. Dan sejak saat itu, mulai dikenalah istilah Gambang Semarang untuk kesenian “gado-gado” ini. Pendapat inilah yang diyakini kebenarannya karena terdapat rentang waktu yang tidak terlalu jauh diantara keduanya.
Pendapat kedua berasal seniman Gambang Kromong di Jakarta yang mengatakan bahwa justru Gambang Kromong-lah yang berasal dari Gambang Semarang. Hal ini dibuktikan bahwa terdapat seniman-seniman tua yang mengenal irama-irama Gambang Semarang. Terlepas dari perbedaan pendapat tadi, baik Gambang Kromong maupun Gambang Semarang merupakan kearifan lokal yang harus kita jaga eksistensinya.
Gambang Semarang dalam perjalanannya menjadi kesenian khas Semarang, memiliki dinamika-dinamika tersendiri. Saat awal kedatangannya di kota ini, Gambang Semarang mampu menyedot seluruh animo masyarakat. setiap ada pementasan tidak pernah sepi pengunjung. Selain itu Gambang Semarang juga dipentaskan secara rutin saat ada event Semarang Fair dan tak ketinggalan Graha Santika-pun juga selalu mengadakan pentas rutin untuk Gambang Semarang ini. Sampai tahun 1970-an setiap acara selalu membutuhkan Gambang Semarang untuk mengisi salah satu acaranya.
Mulai tahun 1980, Gambang Semarang hanya dipentaskan secara insidental. Animo masyarakat tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, keadaan semakin memburuk karena mulai dekade 1990an Gambang Semarang mulai kehilangan penontonnya. Dan hari ini, bisa dibilang bahwa Gambang Semarang adalah potret kearifan lokal Indonesia yang hidup segan mati tak mau.
Semua orang yang merasa memiliki kesenian ini sudah seharusnya ikut memikirkan akan nasib kesenian ini. Dimulai dari pemerintah, pihak yang dinilai paling bertanggung jawab atas kepunahan kesenian ini, pemerintah melalui Pemerintah Daerah (Pemda) yang selalu menggembar-gemborkan meningkatkan kesejahteraan rakyat apakah pelestarian kesenian lokal ini sudah terjamah. Mengantisipasi kepunahan Gambang Semarang ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) di tahun 1980an telah menyosialisasikan Gambang Semarang ke murid-murid sekolah dasar (SD). Akan tetapi karena saat itu terdapat sentimen negatif terhadap semua yang berbau Cina (lihat sejarahnya), agaknya upaya ini terhambat. Baru-baru ini Disparta juga telah merealisasikan pembuatan gamelan Gambang Semarang dan mengadakan pelatihan-pelatihan Gambang Semarang.
Sebagai institusi pendidikan tidak ketinggalan Universitas Diponegoro lewat Fakultas Sastra, jurusan Ilmu Sejarah telah menunjukkan perhatiannya terhadap eksistensi Gambang Semarang. Di tahun 1993-1994 membuat pameran tentang instrument-instrumen Gambang Semarang, tahun 1998-2000 mengadakan penelitian tentang Gambang Semarang itu sendiri. Tahun 2003 membuat Gambang Semarang dalam versi lengkap (meliputi: lagu-lagu instrumentalia, lagu Gambang Semarang sebagai perkenalan, lagu iringan tari, pertunjukkan lawak, sajian tari, lagu-lagu untuk tari, lagu-lagu penutup) kemudian ditransfer ke mahasiswa-mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa. Perlu diketahui, Gambang Semarang adalah kesenian rakyat yang tidak memiliki waton (aturan tidak tertulis yang menjadi konvensi yang kemudian diikuti oleh orang-orang, red) seperti seni-seni keraton. Jadi, setiap pihak berhak untuk membuat Gambang Semarang sesuai versinya sendiri.
Pada dasarnya, seluruh eksponen entah itu pemerintah daerah (Pemda) lewat Disparta maupun pemerintah kota (Pemkot) lewat Dewan Kesenian Semarang (Dekase), seniman, akademisi bahkan orang awam sekalipun wajib bekerja sama untuk menyelamatkan eksistensi Gambang Semarang. Sebuah kesenian membutuhkan individu-individu yang kreatif untuk mengembangkannya agar nuting jaman kelakon, sesuai perkembangan jaman. Mustahil sebuah kesenian rakyat mampu bertahan sendirian (tanpa ada pendukung-pendukungnya) melawan kesenian populer yang mampu berkembang seiring berkembangnya jaman.
Setelah semua usaha untuk nguru-uri Gambang Semarang dilakukan tapi tidak ada hasilnya, realistis saja kita relakan Gambang Semarang punah. Dengan catatan, saat sekarang dimana masih ada seniman-seniman asli yang masih fasih mendendangkan Gambang Semarang, kita harus mulai upaya pencatatan Gambang Semarang ini. Saat masih ada pihak yang mementaskan Gambang Semarang harus kita ambil pendokumentasiaanya. Jadi, kelak dimana kesenian ini benar-benar punah kita telah memiliki catatan dan dokumentasi bahwa dulu pernah ada kesenian yang bernama Gambang Semarang di kota pesisir ini.
Jaman, apapun konteksnya mampu untuk membunuh sebuah karya manusia tapi dengan kekuatannya pula mampu mendorong individu untuk mencipta karya baru.
bersuka ria gelak tertawa semua orang
karena hati tertarik gerak- gerik si tukang kendang
empat penari membikin hati menjadi senang
aduh malam gembira
gambang semarang
Secuplik syair diatas adalah bagian dari lagu “Ampat Penari” atau biasa disebut lagu Gambang Semarang. Gambang Semarang adalah salah satu dari sekian banyak kesenian rakyat yang berasal dari kota Semarang. Akan tetapi beberapa periode terakhir ini gaungnya semakin tenggelam tergerus perubahan jaman. Selayaknya sebagai masyarakat asli kota Lunpia ini kita harus berupaya untuk melestarikan kearifan lokal yang masih tersisa dari jaman terlampau.
Ada dua pendapat tentang asal muasal Gambang Semarang. Pendapat pertama, yang dianggap sebagai yang paling benar, adalah Gambang Semarang berasal dari kesenian Gambang Kromong dari Jakarta. Dahulu, karena penduduk kota Semarang merupakan campuran antara orang Jawa pribumi, orang Tionghoa dan orang Arab maka sulit sekali menciptakan sebuah kesenian yang khas dari Semarang, tentu saja karena tiap etnis membawa peradabannya masing-masing.
Oleh karena itu, seorang Tionghoa bernama Lie Ho Sun diawal 1930 memiliki inisatif untuk membawa Gambang Kromong (Jakarta) untuk dikembangkan di Semarang. Inisiatif itu kemudian menjadi nyata atas persetujuan walikota Semarng saat itu, hingga sekembalinya dari Jakarta, Lie Ho Sun membawa seperangkat gamelan Gambang Kromong sekaligus sekelompok senimannya. Singkat cerita, kemudian terbentuklah komunitas seni Gambang Kromong di Semarang. Masyarakat Semarangpun juga sangat antusias terhadap kesenian ini karena didukung oleh orang-orang pribumi dan Tionghoa.
Akhir tahun 1930, seorang Tionghoa bernama Oe Yok Siang menciptakan sebuah lagu berjudul Ampat Penari (yang sampai sekarang masih menjadi trademark Stasiun Tawang saat keberangkatan kereta). Lagu tersebut secara filosofis menceritakan tentang Gambang Semarang. Dan sejak saat itu, mulai dikenalah istilah Gambang Semarang untuk kesenian “gado-gado” ini. Pendapat inilah yang diyakini kebenarannya karena terdapat rentang waktu yang tidak terlalu jauh diantara keduanya.
Pendapat kedua berasal seniman Gambang Kromong di Jakarta yang mengatakan bahwa justru Gambang Kromong-lah yang berasal dari Gambang Semarang. Hal ini dibuktikan bahwa terdapat seniman-seniman tua yang mengenal irama-irama Gambang Semarang. Terlepas dari perbedaan pendapat tadi, baik Gambang Kromong maupun Gambang Semarang merupakan kearifan lokal yang harus kita jaga eksistensinya.
Gambang Semarang dalam perjalanannya menjadi kesenian khas Semarang, memiliki dinamika-dinamika tersendiri. Saat awal kedatangannya di kota ini, Gambang Semarang mampu menyedot seluruh animo masyarakat. setiap ada pementasan tidak pernah sepi pengunjung. Selain itu Gambang Semarang juga dipentaskan secara rutin saat ada event Semarang Fair dan tak ketinggalan Graha Santika-pun juga selalu mengadakan pentas rutin untuk Gambang Semarang ini. Sampai tahun 1970-an setiap acara selalu membutuhkan Gambang Semarang untuk mengisi salah satu acaranya.
Mulai tahun 1980, Gambang Semarang hanya dipentaskan secara insidental. Animo masyarakat tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, keadaan semakin memburuk karena mulai dekade 1990an Gambang Semarang mulai kehilangan penontonnya. Dan hari ini, bisa dibilang bahwa Gambang Semarang adalah potret kearifan lokal Indonesia yang hidup segan mati tak mau.
Semua orang yang merasa memiliki kesenian ini sudah seharusnya ikut memikirkan akan nasib kesenian ini. Dimulai dari pemerintah, pihak yang dinilai paling bertanggung jawab atas kepunahan kesenian ini, pemerintah melalui Pemerintah Daerah (Pemda) yang selalu menggembar-gemborkan meningkatkan kesejahteraan rakyat apakah pelestarian kesenian lokal ini sudah terjamah. Mengantisipasi kepunahan Gambang Semarang ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparta) di tahun 1980an telah menyosialisasikan Gambang Semarang ke murid-murid sekolah dasar (SD). Akan tetapi karena saat itu terdapat sentimen negatif terhadap semua yang berbau Cina (lihat sejarahnya), agaknya upaya ini terhambat. Baru-baru ini Disparta juga telah merealisasikan pembuatan gamelan Gambang Semarang dan mengadakan pelatihan-pelatihan Gambang Semarang.
Sebagai institusi pendidikan tidak ketinggalan Universitas Diponegoro lewat Fakultas Sastra, jurusan Ilmu Sejarah telah menunjukkan perhatiannya terhadap eksistensi Gambang Semarang. Di tahun 1993-1994 membuat pameran tentang instrument-instrumen Gambang Semarang, tahun 1998-2000 mengadakan penelitian tentang Gambang Semarang itu sendiri. Tahun 2003 membuat Gambang Semarang dalam versi lengkap (meliputi: lagu-lagu instrumentalia, lagu Gambang Semarang sebagai perkenalan, lagu iringan tari, pertunjukkan lawak, sajian tari, lagu-lagu untuk tari, lagu-lagu penutup) kemudian ditransfer ke mahasiswa-mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa. Perlu diketahui, Gambang Semarang adalah kesenian rakyat yang tidak memiliki waton (aturan tidak tertulis yang menjadi konvensi yang kemudian diikuti oleh orang-orang, red) seperti seni-seni keraton. Jadi, setiap pihak berhak untuk membuat Gambang Semarang sesuai versinya sendiri.
Pada dasarnya, seluruh eksponen entah itu pemerintah daerah (Pemda) lewat Disparta maupun pemerintah kota (Pemkot) lewat Dewan Kesenian Semarang (Dekase), seniman, akademisi bahkan orang awam sekalipun wajib bekerja sama untuk menyelamatkan eksistensi Gambang Semarang. Sebuah kesenian membutuhkan individu-individu yang kreatif untuk mengembangkannya agar nuting jaman kelakon, sesuai perkembangan jaman. Mustahil sebuah kesenian rakyat mampu bertahan sendirian (tanpa ada pendukung-pendukungnya) melawan kesenian populer yang mampu berkembang seiring berkembangnya jaman.
Setelah semua usaha untuk nguru-uri Gambang Semarang dilakukan tapi tidak ada hasilnya, realistis saja kita relakan Gambang Semarang punah. Dengan catatan, saat sekarang dimana masih ada seniman-seniman asli yang masih fasih mendendangkan Gambang Semarang, kita harus mulai upaya pencatatan Gambang Semarang ini. Saat masih ada pihak yang mementaskan Gambang Semarang harus kita ambil pendokumentasiaanya. Jadi, kelak dimana kesenian ini benar-benar punah kita telah memiliki catatan dan dokumentasi bahwa dulu pernah ada kesenian yang bernama Gambang Semarang di kota pesisir ini.
Jaman, apapun konteksnya mampu untuk membunuh sebuah karya manusia tapi dengan kekuatannya pula mampu mendorong individu untuk mencipta karya baru.